Pengertian Audit Sosial
Konsep Audit sosial mulai dikenal sejak tahun 1960 oleh The Social Economic Agency (Northern Ireland) saat mengadakan pelatihan 10 organisasi untuk melatih para auditor lembaga atau konsultan eksternal agar dapat menerapkan dan melaksanakan audit sosial ini.
Konsep audit sosial mengandung pengertian sebagai proses untuk memahami dan mengukur institutional performance dari aspek sosial (non financial). Audit Sodial dapat memperlihatkan hasil nyata (outcome) dampak dan manfaat lembaga/dinas terhadap lingkungan sosial yang muncul sebagai akibat pencapaian tujuan lembaga/dinas sebagai pemantauan yang sistematik dan pandangan stakeholder secara demokratis. Boyd (1998) (pengembangan audit sosial untuk mengevaluasi layanan kinerja pemberdayaan sosial : Puji Mulyono)
Saat ini, audit sosial merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melakukan pemantauan pelayanan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah. Melalui audit sosial, masyarakat dapat terus memastikan bahwa pelayanan publik yang harus dilakukan oleh pemerintah tersebut berjalan optimal, sesuai dengan kebutuhan , tidak ada penyimpangan dan tepat sasaran.
Pentingnya Audit Sosial
Audit Sosial muncul seiring dengan proses pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang belum memadai. Kapasitas pemerintah maupun negara yang terbatas dalam melakukan audit mendorong upaya upaya untuk memperkuat kapasitas warga dalam melakukan audit. berikut beberapa faktor penting yang melatarbelakangi mengapa audit sosial menjadi penting .
- Belum Optimalnya Keterbukaan Informasi Publik, Meskipun telah dikeluarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) ternyata keberadaannya belum membawa dampak signifikan terhadap proses transfer informasi kepada masyarakat. Masih banyak dokumen dan informasi yang sulit diakses oleh masyarakat. Akibat banyak terjadinya penyelewengan atas pelaksanaan program, layanan yang tidak efektif dan efisien, layanan publik berbiaya tinggi, berbelit belit, dll
- Proses Perencanaan belum dilakukan secara partisipatif, perencanaan pembangunan harus diakui menjadi ruang yang sangat teknokratis sehingga minim partisipasi. Hampir disetiap tahapan proses perencanaan, partisipasi warga hanya menjadi suatu langkah yang dijalankan untuk memenuhi prosedur perencanaan. Akibatnya, program dan kegiatan yang disusun oleh pengambil kebijakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
- Masih ada kecenderungan penyimpangan dalam penggunaan anggaran, Minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan mendorong munculnya penyimpangan/ penyelewengan program,/ Kegiatan bahkan sampai pada penggunaan anggaran yang tidak semestinya. Termasuk adanya penggelembungan anggaran kegiatan. Karenanya penting bagi kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pengawasan implementasi program/kegiatan.
- Proses Tender Rawan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, Tender merupakan awal proses pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh pihak ke-3. Proses ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Semakin obyektif proses tender maka akan didapatkan rekanan yang tepat untuk melaksanakan kegiatan. Namun pelaksanaan tender proyek pemerintah masih banyak terjadi praktek – praktek kolusi, korupsi, nepotisme. saking jamaknya praktek itu terjadi, masyakarat makin permisif dan acuh tak acuh dengan hal itu. akibat lemahnya proses tender akan berpengaruh pada implementasi proyek/program. Kualitas yang dihasilkan tidak akan memenuhi standar yang ditetapkan. pada akhirnya warga sebagai pengguna layanan publiklah yang akan dirugikan.
- Masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja pemerintah dan pelaksanaan pelayanan publik. Berbagai lembaga pengawas internal maupun eksternal sudah dibetuk. Spesifikasinyapun beragam. ada yang melakukan pengawasan pelayanan publik seperti omdusman, pengawas pelaksanaan HAM yaitu komnas HAM, termasuk pengawas kinerja pemerintah yang dulu kita kenal dengan Bawasda (Saat ini bernama inspektorat) dan BPKP sebagai pengawas internal. Selain itu kita kenal pula BPK sebagai pengawas internal. Selain itu kita kenal pula BPK sebagi pengawas eksternal. Hasil pengawasan itu menjadi konsumsi pemerintah untuk memperbaiki layanan. meski sudah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, layanan publik tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Selain pengawasan internal yang masih bersifat kolutif, jangkauan pengawasan yang tidak terlalu luas menyebabkan tidak semua pelayanan publik dapat dijangkau. Aspek pengawasanpun juga terbatas hanya input dan output saja. Kebanyakan hanya berada dalam ruang lingkup finansial/keuangan sedangkan non financial sering terlewatkan. Akibatnya apakah dapat dirasakan kemanfaatannya secara langsung oleh masyarakat, tidak menjadi target pengawasan.
Landasan Hukum Pelaksanaan Audit Sosial
beberapa regulasi yang ada di Indonesia secara eksplisit menjamin adanya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan, diantaranya :
- Undang – undnag Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
- Undang – undnag Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi.
- Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
- Undang – undnag nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan nasional (SPPN)
- PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Peran Serta masyarakat Dalam pemberantasan korupsi
- Keppres nomor 16 Tahun 2004 tentang perubahan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 Tentang pedoman Pengadaan barang & Jasa di Instansi pemerintah
- Dan beberapa peraturan sektoral lainnya seperti UU tentang kesehatan, UU tentang sistem pendidikan nasional, dll